PENAFSIRAN  JAMAK DAN MUFRAD DI DALAM AL QUR’AN MENURUT PARA ULAMA
Oleh: Munadzir
A.PENDAHULUAN
   Muqabalah berasal dari bahasa Arab (مقابلة),artinya “berhadap-hadapan”. Kata jamak yang artinya “jumlah yang banyak” dalam bahasa inggris yang plural dan kata mufrad yang artinya “kata tunggal”dalam bahsa inggris yang berti singular.Jadi muqabalah jamak dengan mufrad yang berarti “berhadapannya kata singular dan plural”. Bentuk jamak dalam bahasa arab dapat dibedakan menjadi dua kelompok, pertama, jamak salim (utuh), yaitu bentuk jamak yang terjadi berdasarkan pola yang beraturan atau tetap; dan yang kedua, jamak taksir (pecah), yaitu bentuk jamak yang terjadinya tidak berdasarkan pola yang segam atau tetap.
     Untuk jenis yang di sebutkan yang pertama ,yaitu jamak salim dapat di bentuk dengan menambahkan huruf wawu dan nun pada kalimat nominal dan huruf ya dan nun pada kasus kalimat akusatif atau genitif.  
Sementara itu, jenis jamak yang kedua jamak taksir dapat dibentuk melalui beberapa cara:
1.      Perubahan bentuk dasar
2.      Perubahan bentuk dasar dan penambahan bentuk lain
Jamak taksir dapat dibedakan menjadi dua:
1.      Jam’al qillah, yaitu jamak yang digunakan untuk jumlah yang lebih dari dua atau kurang dari sepuluh. Dan mempunyai empat pola: a. mengikuti wazan af’ulu(arjulun) jamak dari (rijlun) b. mengikuti wazan af’ilatun (aslihatun) jamak dari(silahun) c.mengikuti wazan fi’latun (fityatun) jamak dari(fata) d. Mengikuti wazan fu’ala’u (umara’u) jamak dari(amirun)
2.       Jam’al katsrah, yaitu jamak yang menunjukkan arti banyak atau lebih dari sepuluh.
    Pertanyaan yang perlu dibahas dalam sini adalah:
1.      bagaimanakah pendapat para ulama dalam memahami muqabalah jamak dan mufrad?
2.      Mengapa lafal الارض tdak di ungkapkan dalm bentuk jamak  السماوات?
3.      Bagaima dengan lafal السماء dalam ayat 31 yunus dan 24 saba’?
4.      Mengapa pada surat yunus ayat 22 memakai lafad  ريح  dan tidak menggunakan lafad رياح?
5.      Mengapa lafal سبيل الحق yang selalu dimuradkan dan سبيل الباطل senantiasa dijamakkan?




B. muqabalah jamak dan mufrad dalam ayat Alqur’an
Pola kalimat jamak dan mufrad banyak di jumpai dalam ayat-ayat Alqur’an. Oleh karena itu, perlu di kaji permasalahanya supaya tdak terjadi kekeliruan dalam memahaminya. Berangkat dari pemikiran ini, bila dinikmati secara seksama lafal-lafal yang di pakai dalam Alqur’an, maka ternyata pemakaian tersebut bukan secara kebetulan,melainkan sengaja di buat demikian agar sesuai dengan pesan yang ingin disampaikan. Kalau muqabalah jamak dengan jamak berkonotasi umum, maka muqabalah jamak dengan mufrad menurut pendapat al-suyuthi “biasanya tidak berkonotasi umum meskipun kadang-kadang lanjutannya dapat juga berkonotasi umum seperti kata فدية (jamaknya فديات  dan فدى) dalam ayat 184 Al baqarah.                                  
  dengan demikian, konotasi ayat itu adalah kewajiban membayar fidyah umum bagi setiap orang yang tidak sanggup menunaikan puasa di bulan Ramadhan pada tiap hari di bulan ramadhan tersebut.
         Selain itu ada juga kata dalam Alqur’anyang hendak dipakai bentuk jamaknya seperti kata الباب yang terulang sebanyak 16 kali didalam Alqur’an 1 tidak dijumpai bentuk mufradnya لب , misalnya dalam ayat 21 dari surat al-Zumar.    
                
 jika diperlukan makna mufradnya maka Alqur’an memakai sinonimnya yaitu:  قلبseprti dalam ayat 37 surat Qaf.                           
 Mengapa hal itu terjadi? Tentu Hanya Allah yang Maha tau segalanya. Maka al-suyuthi berpendapat bahwa lafal mufrad berat di ucapkan karena Alqur’an hanya memakai jamaknya saja yakni الباب.[1]
         Sebaliknya ada pula kata yang dipakai Alqur’an dalam bentuk mufradnya saja seperti kata ارض yang terulang dalam ayat Alqur’an sebanyak 461 kali 3[2] seperti dalam ayat 12 surat al-Thalaq.                                                   
 dalam ayat ini secara rinci Allah menegaskan bahwa langit ada tujuh dan bumi seperti langit pula [ yakni tujuh buah]. Menurut pendapat al-zarkasyi, meskipun bumi di sebut sama dengan lamgit, namun antara kedua benda tersebut sangat tidak sebanding karena bumi sekalipun berbilang, tapi di bandingkan dengan keluasan cakrawala langit yang tak terbayangkan, maka onggokan bumi tersebut tetap bagaikan sebuah batu kerikil kecil di tengah-tengah padang pasir yang luas.2
          Pendapat ini ada benarnya jika diperhatikan kenyataanbahwa sesuai hasil penyelidikan astronomi, Bumi memang sangat kecil, karena terlalu kecilnya sosok bumi itu dibanbingkan dengan luasnya langit maka ikategorikan dia sebagai sesuatu yang tunggaldan tak perlu dijammakkan tetapi tidak cukup dengan dengan memakai\ Isim jenis yang tunggal saja.
         Disamping pendapat al-zarkasyi itu, agaknya juga tidak keliru bila dikatakan bahwa pemakaian lafal الارض yang dalam bentuk tunggal itulah yang cocok dengan kondisi umat pada waktu itu ayat itu diturunkan Allah karena pada masa itu astronomi belum berkembang seperti sekarang. Seandainya Allah mengatakan secara eksplitis bahwa bumi itu tujuh, tentu mereka akan bingung dan tak mustahil mereka akan ragu-ragu akan kebenaran Alqur’an sebab setahu mereka bumi hanya ada satu mengapa dikatakan tujuh? Bila ini terjadi maka dapat mengakibatkan misi risalah Muhammad menjadi gagal.
         Kalau lafal الارض hanya dipakai dalam bentuk mufrad maka dalam pemakaian lafal سماء Alqur’an lebih leluasa, artinya, baik yang mufrad maupun yang jamak, keduanya terpakai dalam kitab suci itu. Muhammad Fu’ad ‘Abd al-baqi menemukan lafal سماء (tunggal) dalam Alqur’an sebanyak 120 buah, dan سماوات (jamak) sebanyak 190 buah.
         Kita yakin perbedaan pemakaian kata tersebut jelas membawa perubahan konotasi dari kata itu. Dalam kasus سماوات ini, misanya, jika dimaksudkan untuk menunjukkan sesuatu yang ada diatas(mulia) maka di gunakan bentuk mufradnya (سماء) seperti dalam ayat berikut.
Kata سماء terulang dua kali dalam ayat diatas keduanya dalam bentuk mufrad karena tak prlu di jamakkan sebab tampa jamak maksudnya sudah di ketahui, yakni menunjuk kepada sesuatu yang amat tinggi dan mulia bukan berkonotasi langit dalam arti planet-planet. Sebaliknya bila yang dimaksud itu adalah konotasi yang kedua: planet-planet, maka ketika ini dipakai bentuk jamaknya seperti dalam ayat 3 surat Al-An’am. Contoh lain misalnya dalam ayat 3 surat Saba. 
    Tampak jelas dan teras sekali perbedaan konotasi antara سماء dalam contoh sebelumnya dengan سماوات dalam dua ayat terakhir ini. Kalau dalam ayat 16-17 surat Al-Mulk itu menunjukkan kepada suatu kondisi atau sifat yang mulia dan tinggi, sementara pada dua ayat terakhir ini berkonotasi materi yakni planet-planet.
 Hal-hal serupa juga tampak dalam pemakaian kata  الارض artinya jika yang dimaksud ialah untuk menunjukkan sifat rendah dan di bawah, maka dipakailah kata الارض sendirian tampa penjelasan atau ciri-cirilain,seprti kata الارض yang terdapat dalam empat ayat yang telah dikenukakan tadi.  Tapi bila Allah bermaksud menjelaskan bumi secara materil, maka penjelasan seperti kata مثلهنّ dalam contoh yang dikemukakan pada permulaan pembahasan ini. Ketika ini, الارض tidak berkonotasi suatu sifat yang rendah dan di bawah, melainkan menunjuk kepada kepada jatidiri bumi itu, yakni ada tujuh buah sama jumlahnya dengan langit; namun Allah tidak menjamakkan kata الارض agar cocok dengan kondisi umat pada waktu itu sebagaimana telah di ungkapkan di depan.
       Lafal السماء dalam ayat 31 dari yunus dan dalam ayat 24 dari saba’ kedua ayat ini membicarakan tentang sumber rezki; namun yang pertama diungkapkan dengan mufrad dan yang kedua dengan jamak, padahal keduanya berkonotasi sama-sama abstrak.
    Sepintas kedua ayat itu nampak kurang sejalan dengan kaedah yang dikemukakan diatas. Namun bila diamati secara seksama, maka diketahui bahwa konteks kedua ayat itu berbeda. Pendapat al-zarkasyi bahwa ayat yang digunakan pula harus berbeda. Ayat pertama “dikatan” berkenaan dengan orang-orang yang mengakui, bahwa hanya Allah yang memberi rizki mereka dan menguasai pendengaran serta penglihatan mereka. Sedangkan ayat kedua berkenaan dengan orang yang tidak mengakui hal yang demikian. apa yang dikemukakan oleh Zarkasy itu ada benarnya karena jawaban dari pertanyaan di awal ayat itu, di nyatakan pada akhir ayat tersebut secara eksplisit dalam ungkapan  فسيقولون الله” (maka mereka akan berkata: Allah). Jawaban itu mengesankan bahwa mereka mengakui sepenuhnya: hanya Allah pemberi rizkidan menguasai pendengaran serta penglihatan mereka. Jawaban serupa itu tidak dijumpai dalam ayat yang kedua. Karenanya Allah langsung memerintahkan Rasul dalam menjawabnya sebagaimana tertera diujung ayat قل الله. Mereka yang mengkui bahwa hanya Allah yang memberi rizki, maka mereka tak pernah menggambarkan proses turunnya rizki dari langit yang satu ke langit yang lain, kemudian baru sampai kepada mereka. Tapi mereka meyakini sepenuhnya bahwa rizki itu langsung dari Allah tampa melalui proses yang berbelit-belit. Untuk menggambarkan kondisi yang demikian maka lafal tunggal yang cocok yakni السماء. Sebaliknya pada contoh yang kedua, lafal jamak yang cocok  سماوات karena mereka mengakui bahwa turunnya rizki dari Allah melalui proses yang panjang yaitu dari satu langit ke langit yang lain.dalam kondisi begini, tentu lafal jamak yang sesuai dengan mukhathab. Untuk menolak keyakinan demikian itu maka di ujung ayat itu langsung di tegaskan Allah قل الله. Dengan begitu jelas bahwa pemberian rizki dan[3] sebagainya itu benar-benar Allah yang berwnang. Tidak ada pihak-pihak lain selain Allah.







C. pengrtian jamak dan mufrad dalam lafal  ريح
       Pemakaian lafal ريح. Jika diamati pemakaian kata ريح tersebut, maka dijumpai konotasinya sesuatu yang menyenangkan seperti dalam ayat-ayat barikut.Sebaliknya lafal ريح mufrad dari رياح berkonotasi azab atau siksaan seperti dalam ayat-ayat berikut. Dari dua kelompok contoh diatas tampak perbedaan pemakaian lafal رياح dan ريح secara jelas. Riyah berkonotasi angin yang baik penuh rahmat dan nikmat, sebaliknya rih angin yang buruk penuh adzab dan siksa. Hal itu dapat diketahui melalui konteks ayat tersebut. Namun ada kata rih dalam Alqur’an yang berkonotasi baik seperti dalam ayat 22surat Yunus
Lafal rih yang prtama berarti angin yang baik dan yang kedua berarti angin yang buruk. Pada ini tak sulit mengetahuinya karena yang pertama disifati dengan baik dan yang kedua disifati dengan kencang dan menakutkan.
    Pemakaian kata serupa itu seakan-akan memberi pesan bahwa Alqur’an kurang konsisten dalam pemakaian suatu kosa kata karena dalam ayat lain lafal ريح berkonotasi buruk atau azab sebaliknya ayat yang sama berkonotasi baik.
    Apabila diamati dengan seksama  pemakaian lafal tersebut di ayat yang diatas ayat 22 dari Yunus, niscaya kita akan berkata, memang kata ريح yang mufrad itulah yang cocok bukan lafal رياح jamaknya. Hal itu didasarkan pada konteks ayat tersebut yang membicarakan kondisi kapal yang sedang berlayar ditengah lautan. Jelas,yang dapat menyelamatkan pelayaran kapal ialah suatudari satu arah. Oleh karena itu, maka lafal ريح yang mufradlah yang cocok digunakan, tidak yang jamak. Supaya tidak dipahami lafal ريح yang pertama berkonotasi buruk maka Allah nyifatinya dengan baik. Dengan demikian umat terhindar dari pemahaman yang keliru. Kata ريح yang semakna ini juga ditemui pula dalam ayat 33 dari al-Syura.     
D. pemakaian mutsanna dan jamak pada lafal مشرق dan مغرب
    selanjutnya yang kita kaji adalah pemakaian lafal مشرق dan مغرب. Dalam Alqur’an kedua kata tersebut dipakai dalam bentuk mutsanna (mufrad kedua), dan jamak. Pemakaian lafal yang mufrad dari kedua kata itubarngkali tidak menarikperhatian umat karena mereka tahu dan tampak bengan jelas bahwa مشرق (timur) dan مغرب (barat) masing-masing memang hanya satu; jadi cocok dengan konotasi kata tersebut. Permasalahan mulai timbul ketika Alqur’an memakai kata itu dalam dua bentuk dual seperti dalam ayat 17 dari al-Rahman. Dan dalam bentuk jamak seprti dalam ayat 40 dari al-Ma’arij
Munculnya permasalahan dalam ayat itu adalah karena sepintas lalu seakan-akan Alqur’an tidak sejalan dengan kenyataan empirik yakni timur dan barat, masing-masing hanya satu tidak dua tidak pula tiga dan seterusnya. Namun Alqur’an menggunakan lafal mutsanna dan jamak berkonotasi berbilang.
    Apabila dikaji dengan seksama pemakaian kata-kata dalam Alqur’an , maka secara jujur harus diakui bahwa pemakaian kata tersebut amat sangat tepat dan akurat.dalam hal ini tidak terkecuali lafal مشرق dan مغرب yang dipakai dalam tiga bentuk itu sebagai mana telah di contohkan di ayat 40 dari al-Ma’arij. Berdasarkan pada kenyataan itu, maka para ulama, khususnya yang mendalami ilmu-ilmu Alqur’an yang berusaha mencari jawaban bagi permasalahan yang timbul itu. Al-Zarkasyi misalnya, mengomentari pemakaian lafal mutsanna dan jamak dari dua kosa kata tersebut dengan mengatakan bahwa hal itu terjadi sesuai dengan pergerakan planet-planet. Akibatnya tenpat terbit matahari senantiasa berubah tiap hari sepanjang tahun. Perubahan ini meyebabkan tempat terbenamnya matahari ikut berubah juga. Dengan demikian, مشرق dan مغرب tersebut menjadi banyak maka dari itulah Allah berkata dengan jamak. Adapun pemakaian mutsanna dalam ayat 17 dari al-Rahman tersebut agar serasi dengan ayat-ayat yang lain karena ungkapan ayat-ayat di dalamya berpasang-pasangan seperti manusia dan jin rumput dan pohon dan lain sebagainya. Dalam kondisi yang demikian maka akan lebih serasi menggunakan mutsanna dari pada lafal tunggal.27
E. lafad النور, الظللومات,dan السبيل
      Termasuk dalam kategori ini adalah lafad النور yang senantiasa di mufradkan, dan lafad الظللومات yang selalu di jamakkan. Demikian pula,dengan lafal السبيل الحف yang selalu dimufradkan dan lafal السبيل الباطل yang senantiasa dijamakkan. Hal ini antara lain ditunjukkan oleh firman Allah surat al-An’am ayat 153.  Alasannya adalah bahwa jalan menuju kebenaran itu hanya satu,sedangkan jalan menuju kebatilan itu banyak sekali dan bercabang-cabang. dengan alasan seperti ini,lafal waliyyul mu’minin dimufradkan, dan lafal auliya’ al-kafirin dijamakkan.hal ini seperti terlihat dalam surat al-Baqarah ayat 257.
F. kesimpulan
     Dalam pembahasan diatas telah diterangkan beberapa ayat Alqur’an yang nenunjukkan al-ifrad dan jamak. Dan beberapa pendapat para ulama tentang ayat tersebut dengan demikian kita dapat menyimpulkan bahwa Allah menciptakan langit dan bumi itu ada tujuh buah dan lafal bumi dijadikan mufrad karena menyesuaikan dengan keadaan umat pada saat itu. Dan pada lafal ريح apabila didalam bentuk mufrad maka cenderung menuju ke keburukan dan apabila menggunakan jamak lebih cenderung ke kebaikan. Begitu pula dengan yang lainnya.


[1] al-Suyuthi.pom,.h. 194

[2]  al-Zarkasyi, op., h,6.

[3] al-Zarkasyi, op., h,9

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

0 komentar:

Posting Komentar