A. Judul
“Abu Ketel sebagai Absorban Zat Warna Limbah Tekstil”
B. Latar Belakang Masalah
Indonesia merupakan negara berkembang dengan berbagai macam industri, baik kecil, menengah, maupun maju, yang dimanfaatkan untuk mengolah bahan mentah menjadi bahan siap pakai bagi masyarakat. Salah satu industri yang dimaksud adalah industri pengolahan tebu. Industri ini berkembang dengan memanfaatkan tebu sebagai bahan dasar yang kemudian diolah menjadi gula. Tebu yang diolah dalam jumlah besar tiap harinya, tentu menghasilkan limbah padat dalam jumlah besar pula. Limbah padat industri tebu pada umumnya berupa blotong yang sering dimanfaatkan lebih lanjut sebagai bahan baku pembuatan arang. Selain blotong, abu ampas tebu juga merupakan limbah sisa pengolahan tebu yang hingga kini pemanfaatannya belum maksimal. Dari sisi harga, blotong memiliki nilai jual yang lebih tinggi dibandingkan abu ampas tebu, hal tersebut menjadi salah satu penyebab abu ampas tebu seringkali tidak dimanfaatkan, bahkan dibuang begitu saja. Padahal apabila diteliti lebih lanjut, abu ampas tebu ternyata mengandung silika dalam jumlah yang tidak sedikit. Silika ini dapat digunakan untuk menyerap gas organik, ion logam berat, dan gas polutan pada pengolahan limbah.
Dewasa ini pencemaran air menjadi masalah serius di dunia. Salah satu pencemar organik yang bersifat non biodegradable adalah zat warna tekstil. Di berbagai daerah, industri tektsil mulai mengalami kemajuan. Namun kemajuan ini tidak diimbangi dengan kesadaran yang tinggi dalam pengelolaan lingkungan, yang akhirnya menyebabkan pencemaran lingkungan. Limbah zat warna yang dihasilkan dari industri tekstil umumnya merupakan senyawa organik non-biodegradable, yang dapat menyebabkan pencemaran lingkungan terutama lingkungan perairan. Dalam penelitian ini akan digunakan zat warna tekstil Congo Red sebagai model limbah. Congo Red merupakan bahan kimia yang memiliki potensi bahaya terhadap kesehatan tubuh manusia, diantaranya bila tertelan dapat mengakibatkan rasa mual pada lambung, muntah dan diare. Bahan ini bila terkena mata dan teradsorpsi pada kulit dapat menyebabkan iritasi, mengakibatkan kerusakan sistem pernapasan, menyebabkan kanker serta menyebabkan gangguan reproduksi dan janin.
Sudut pandang terhadap abu ampas tebu harus diubah, abu ampas tebu adalah bahan baku potensial yang dapat digunakan sebagai adsorben murah yang ramah lingkungan. Abu ampas tebu dapat menjadi alternatif sebagai absorben dan zeolit. Berdasarkan hal itu maka diperlukan penelitian dan pengembangan teknologi modifikasi sifat fisik dan kimia untuk meningkatkan kapasitas adsorpsi abu ampas tebu. Salah satu alternatif peningkatan kapasitas adsorpsi dapat membuat adsorben dari abu ampas tebu kompetitif bila dibandingkan dengan zeolit. Penelitian di masa depan diharapkan dapat membuat konversi abu ampas tebu menjadi zeolit komersil pada skala industri, terutama industri tekstil. Sebagai upaya untuk mengidentifikasi dan mengurangi tingkat bahaya dari congo red tersebut, maka abu ampas tebu digunakan dengan memanfaatkan sifat penyerap tersebut.
C. Perumusan Masalah
Pemanfaatan abu ampas tebu di Indonesia masih belum maksimal padahal dilihat dari kegunaan dan jumlahnya yang banyak, abu ampas tebu berpotensi besar untuk dikembangkan sebagai absorben yang ekonomis, ramah lingkungan, dan mudah diperoleh.
D. Tujuan
Secara khusus, tujuan yang akan dicapai dari program ini adalah:
1. Mengembangkan teknologi modifikasi limbah abu ampas tebu sebagai adsorben yang ramah lingkungan.
2. Mempelajari kapasitas adsorbsi abu ampas tebu terhadap zat warna Congo Red.
3. Mempelajari karakteristik fisik adsorben abu ampas tebu.
E. Luaran yang Diharapkan
Program penelitian ini berorientasi pada dua aspek hasil, yakni:
1. Adsorben dari abu ampas tebu memiliki keunggulan yaitu harganya yang murah namun memiliki kualitas yang setara dengan zeolit sehingga berpotensi meningkatkan nilai ekonomis abu ampas tebu dan dapat mengendalikan pencemaran lingkungan. Modifikasi abu ampas tebu menjadi silika gel memberikan nilai tambah terhadap limbah hasil pembakaran tebu. Dengan pendekatan ini terbuka peluang yang lebar bagi peningkatan nilai ekonomi limbah serta penciptaan jenis produk unggulan baru yang diharapkan dapat dimanfaatkan sebagai adsorben limbah industri, khususnya limbah zat warna tekstil (Congo Red).
2. Pemanfaatan abu ampas tebu untuk menghasilkan adsorben merupakan suatu hal baru. Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan input tambahan bagi pengembangan ilmu dan teknologi bahan, terutama dalam karakterisasinya.
F. Kegunaan
Hasil penelitian ini dapat memberikan dampak simultan dalam mendorong peningkatan nilai ekonomi limbah abu ampas tebu serta penciptaan jenis produk unggulan baru yang berfungsi dalam pengendalian limbah zat warna tekstil (Congo Red sebagai sampel). Pada akhir kegiatan diharapkan telah diperoleh gambaran profil adsorben yang layak untuk digunakan sebagai bahan adsorbsi limbah zat warna tekstil yang siap dipasarkan (time to market).
G. LUARAN YANG DIHARAPKAN
Program penelitian ini berorientasi pada dua aspek hasil, yakni:
1. Adsorben dari abu ampas tebu memiliki keunggulan yaitu harganya yang murah namun memiliki kualitas yang setara dengan zeolit sehingga berpotensi meningkatkan nilai ekonomis abu ampas tebu dan dapat mengendalikan pencemaran lingkungan. Modifikasi abu ampas tebu menjadi silika gel memberikan nilai tambah terhadap limbah hasil pembakaran tebu. Dengan pendekatan ini terbuka peluang yang lebar bagi peningkatan nilai ekonomi limbah serta penciptaan jenis produk unggulan baru yang diharapkan dapat dimanfaatkan sebagai adsorben limbah industri, khususnya limbah zat warna tekstil (Congo Red)..
2. Pemanfaatan abu ampas tebu untuk menghasilkan adsorben merupakan suatu hal baru. Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan input tambahan bagi pengembangan ilmu dan teknologi bahan, terutama dalam karakterisasinya.
H. Tinjauan Pustaka
2.1 Abu Ampas Tebu
Abu ampas tebu atau sering disebut dengan abu ampas tebu adalah sisa hasil pembakaran dari ampas tebu. Ampas tebu merupakan hasil limbah buangan yang berlimpah dari proses pembuatan gula (± 30 % dari kapasitas giling).
Secara kimia abu ampas tebu merupakan material oksida anorganik mengandung silika dan alumina aktif karena sudah melalui proses pembakaran pada suhu tinggi. Bersifat aktif yaitu dapat bereaksi dengan komponen lain dalam kompositnya untuk membentuk material baru (mulite) yang tahan suhu tinggi. (www.tekmira.esdm.go.id.)
Komponen utama dari abu ampas tebua adalah silika (SiO2), alumina, (Al2O3), dan besi oksida (FeO3). Komposisi kimia dari abu ampas tebu terdiri dari beberapa senyawa yang dapat dilihat pada tabel (2.1) berikut.
Tabel 2.1 komposisi Kimia Abu Pembakaran Ampas Tebu
Senyawa kimia | Persentase(%) |
SiO2 | 70,97 |
Al2O3 | 0,33 |
FeO3 | 0,36 |
K2O | 4,82 |
Na2O | 0,43 |
MgO | 0,82 |
C5H10O5 | 22.7 |
C7H10O3 C5H10O4 |
(Sumber : Hasil analisa No. 4246/LT AKI / XI /99 oleh Team Afiliansi dan Konsultasi Industri ITS Surabaya)
2.2 Potensi Abu Ampas Tebu sebagai Absorben
Komponen senyawa yang tergantung dalam abu ampas tebu bervariasi, namun komponen terbesar nya adalah SiO2 (silika). Jika abu ampas tebu tidak diolah lebih lanjut dapat menimbulkan efek negatif bagi lingkungan. Abu ampas tebu dapat mengkontaminasi air tanah dengan kandungan pengotor seperti besi oksida dan mangan oksida.
Abu ampas tebu umumnya dibuang atau ditumpuk begitu saja di dalam area industri. Penumpukkan abu ampas tebu ini menimbulkan masalah bagi lingkungan. Berbagai penelitian mengenai pemanfaatan abu tebu sedang dilakukan untuk meningkatkan nilai ekonomisnya serta mengurangi dampak buruknya terhadap lingkungan. Saat ini umumnya abu ampas tebu digunakan dalam pabrik semen sebagai salah satu bahan campuran pembuat beton. Selain itu, sebenarnya abu ampas tebu memiliki berbagai kegunaan sebagai aditif dalam pengolahan limbah (waste stabilization) dan dikonversi menjadi zeolit dan adsorben.
Pembentukan abu ampas tebu mejadi silika gel dan absorben merupakan contoh pemanfaatan efektif dari abu ampas tebu. Keuntungan adsorben berbahan baku abu ampas tebu adalah biayanya murah. Selain itu, adsorben ini dapat digunakan baik untuk pengolahan limbah gas maupun limbah cair. Abu ampas tebu dapat dipakai secara langsung sebagai adsorben atau dapat juga melalui perlakuan kimia dan fisik tertentu sebelum menjadi adsorben.
Abu ampas tebu memiliki potensi dikonversi menjadi silika gel jika memiliki kandungan alumina-silika yang cukup tinggi. Jenis silika gel yang dihasilkan dari abu ampas tebu bergantung pada komposisi awal dan metode konversinya.
Abu ampas tebu pada masa kini dipandang sebagai limbah pembakaran batubara. Penanganan abu ampas tebu masih terbatas pada penimbunan di lahan kosog. Hal ini berpotensi bahaya bagi lingkungan dan masyarakat sekitar seperti, logam-logam dalam abu ampas tebu terekstrak dan terbawa ke perairan, abu ampas tebu tertiup angin sehingga mengganggu pernafasan. Pola pikir tentang abu ampas tebu adalah hanya sebatas limbah harus dirubah, abu ampas tebu adalah bahan baku potensial yang dapat digunakan sebagai adsorben murah. Beberapa investigasi menyimpulkan bahwa abu ampas tebu memiliki kapasitas adsorpsi yang baik untuk menyerap gas organik, ion logam berat, gas polutan. (www.majarikanayakan.com)
3. Limbah Zat Wara Tekstil
Limbah tekstil merupakan limbah yang dihasilkan dalam proses pengkanjian, penghilangan kanji, penggelantangan, pemasakan, merserisasi, pewarnaan, pencetakan dan proses penyempurnaan. Proses-proses ini menghasilkan limbah cair dengan volume besar, pH yang sangat bervariasi dan beban pencemaran yang tergantung pada proses dan zat kimia yang digunakan. Pewarnaan dan pembilasan menghasilkan air limbah yang berwarna dengan COD tinggi dan bahan-bahan lain dari zat warna yang dipakai, seperti fenol dan logam.
Secara penampakan fisik air limbah industri tekstil terlihat keruh, berwarna, panas dan berbusa. Kualitas limbah cair sangat tergantung pada jenis proses yang dilakukan. Pada umumnya limbah cair bersifat basa dan mengandung bermacam-macam senyawa baik organik maupun anorganik. Limbah cair tersebut terutama berasal dari cairan bekas proses pewarnaan dan proses pencelupan serta proses lain yang berhubungan dengan proses tekstil industri. Cairan bekas pencelupan tersebut mengandung zat warna dan zat pengikat warna.
Pengolahan limbah zat warna menjadi sulit karena struktur aromatik pada zat warna yang sulit dibiodegradasi, khususnya zat warna reaktif karena terbentuknya ikatan kovalen yang kuat antara atom C dari zat warna dengan atom O, N atau S dari gugus hidroksi, amina atau thiol dari polimer (Christie, 2001 : 135). Zat warna reaktif adalah zat warna yang dapat mencelup serat selulosa dalam kondisi tertentu dan membentuk reaksi kovalen dengan serat. Munculnya limbah zat warna reaktif yang berasal dari proses industri tekstil menyebabkan lingkungan sekitar semakin tercemar sehingga perlu pengolahan lebih lanjut. Beberapa macam perlakuan yang dilakukan untuk pengolahan air limbah yaitu proses filtrasi, flokulasi, penghilangan warna dan adsorpsi. Proses adsorpsi dilakukan untuk proses penyerapan senyawa yang mengganggu dalam analisis, pada umumnya digunakan untuk proses pengolahan limbah. (www.tesis-ilmiah.com).
Pada proses pencelupan, zat warna yang digunakan pada umumnya tidak akan masuk seluruhnya ke dalam bahan tekstil, sehingga efluen yang dihasilkan masih mengandung residu zat warna. Hal inilah yang menyebabkan efluen tekstil menjadi berwarna-warni dan mudah dikenali pencemarannya apabila dibuang langsung ke perairan umum. Selain itu kandungan residu zat warna dan zat-zat pembantu pencelupan yang digunakan akan memberikan kontribusi yang cukup besar terhadap total beban efluen industri tekstil. Masalah lingkungan yang utama dalam industri tekstil adalah limbah dari proses pencelupan. Zat warna, logam berat dan konsentrasi garam yang tinggi merupakan polutan air. Usaha utama yang perlu dilakukan guna mengurangi bahan kimia tersebut adalah penghilangan material toksik dari efluen (Balai Besar Tekstil, 2005).
Residu zat warna maupun garam dalam efluen akan menyebabkan polusi dan residu zat warnanya adalah cukup tinggi, yaitu sekitar 20-50% dari zat warna yang digunakan. Diketahui pula apabila digunakan pada pencelupan dengan sistem perendaman, maka zat warna yang terdapat dalam effluen adalah sekitar 60 – 70 mg/l. Pengolahan efluen yang mengandung zat warna tersebut, baik dari segi penurunan beban cemaran maupun warnanya adalah sangat sulit, karena sukar didegradasi baik secara metoda kimia maupun biologi (Balai Besar Tekstil, 2005).
4. Zat warna azo sebagai zat warna reaktif
Zat warna tekstil umumnya dibuat dari senyawa azo dan turunannya yang merupakan gugus benzena. Diketahui bahwa gugus benzena sangat sulit didegradasi, kalaupun dimungkinkan dibutuhkan waktu yang lama. Senyawa azo bila terlalu lama berada di lingkungan, akan menjadi sumber penyakit karena sifatnya karsinogen dan mutagenik. Karena itu perlu dicari alternatif efektif untuk menguraikan limbah tersebut.
Zat warna azo adalah senyawa yang paling banyak terdapat dalam limbah tekstil, yaitu sekitar 60 % - 70 % (Waite, et al., 2006). Senyawa azo memiliki struktur umum R─N═N─R’. Senyawa ini memiliki gugus ─N═N─ yang dinamakan struktur azo. Senyawa azo dapat berupa senyawa aromatik atau alifatik. Senyawa azo aromatik bersifat stabil dan mempunyai warna menyala. Senyawa azo alifatik seperti dimetildiazin lebih tidak stabil. Senyawa azo digunakan sebagai bahan celup, yang dinamakan azo dyes (Maria, 2007).
Molekul zat warna merupakan gabungan dari zat organik tidak jenuh dengan kromofor sebagai pembawa warna dan auksokrom sebagai pengikat warna dengan serat. Gugus kromofor adalah gugus yang menyebabkan molekul menjadi berwarna.

Zat warna azo merupakan jenis zat warna sistetis yang cukup penting. Zat warna yang berkromofor azo ini yang paling banyak adalah zat warna reaktif. Zat warna reaktif terikat pada serat dengan ikatan kovalen yang sifatnya lebih kuat daripada ikatan lainnya sehingga sukar dilunturkan. Lingkungan zat warna azo sangat luas, dari warna kuning, merah, jingga, biru AL (Navy Blue), violet dan hitam. Jenis yang paling banyak digunakan saat ini adalah zat warna reaktif dan zat warna dispersi. Hal ini disebabkan produksi bahan tekstil dewasa ini adalah serat sintetik seperti serat poliamida, poliester dan poliakrilat. Bahan tekstil sintetik ini, terutama serat poliester, kebanyakan hanya dapat dicelup dengan zat warna dispersi. (Renita, 2004)
5. Congo Red sebagai zat warna azo
Congo Red merupakan bahan kimia yang memiliki potensi bahaya terhadap kesehatan tubuh manusia, diantaranya bila tertelan dapat mengakibatkan rasa mual pada lambung, muntah dan diare. Bahan ini juga bila terkena mata dan teradsorpsi pada kulit dapat menyebabkan iritasi, dapat mengakibatkan kerusakan sistem pernapasan, menyebabkan kanker serta menyebabkan gangguan reproduksi dan janin.
Congo Red (CR) yang memiliki rumus molekul C32H22N6O6S2Na2 juga dikenal dengan nama natrium difenil-bis-alfa-naftilamin sulfonat. Sedangkan rumus struktur Congo Red dapat dilihat pada gambar berikut :

Congo Red berbentuk bubuk berwarna merah kecoklatan, di dalam air akan berwarna merah kekuningan, sedangkan jika dilarutkan dalam etanol berwarna orange. Kelarutannya dalam air adalah sebesar 25 g/L, dan pHnya sekitar 6,7 pada temperatur 20oC. Pada konsentrasi rendah, spektrum adsorpsi UV-Vis menunjukkan intensitas puncak sekitar 498 nm dalam larutan aqueous (http://en.wikipedia.org/wiki/Congo_red). Selain dapat larut dalam air Congo Red juga dapat larut dalam alkohol dan sedikit larut dalam aseton namun tidak larut dalam eter. Congo Red selain sering digunakan sebagai zat warna atau pencelup juga biasa digunakan sebagai indikator, zat warna biologis dan bahkan untuk keperluan diagnostik.
Penelitian ini menggunakan Congo Red sebagai zat pewarna yang diadsorbsi dikarenakan Congo Red mempunyai struktur di-azo dengan rantai panjang dan penggunannya yang luas. Congo Red termasuk limbah yang berbahaya bila terdapat dalam ekosistem. Adapun persamaan reaksinya adalah sebagai berikut (Lachheb, 2002) :


I. Metode Pelaksanaan
1) Pembuatan larutan standar 1000 ppm
Untuk membuat larutan zat warna standar dapat dibuat dari 1 gram Congo Red yang dilarutkan dengan 1000 ml aquades.
2) Penentuan panjang gelombang maksimum
a. Membuat larutan Congo Red dengan konsentrasi 100 ppm
b.Mengukur absorbansinya pada panjang gelombang berdasarkan warna komplementernya.
c. Dari data absorbansi yang diperoleh maka dapat diketahui pada panjang gelombang berapakah terjadi absorbansi tersebut digunakan untuk pengukuran pada penelitian selanjutnya.
3) Pembuatan kurva kalibrasi zat warna
a. Membuat larutan zat warna dengan konsentrasi 20, 40, 60, 80 dan 100 ppm.
b. Mengukur absorbansi dari masing-masing konsentrasi dengan spektrometer UV Vis pada panjang gelombang maksimum.
c. Membuat kurva kalibrasi dari pengukuran absorbansi tersebut diatas.
4) Preparasi adsorben abu ampas tebu
a. 100 gram abu ampas tebu digerus sampai halus sehingga lolos pada pengayak 100 smesh.
b. Mencucinya dengan aquades dengan tujuan menghilangkan sisa pengotor yang masih menempel pada pori-pori abu ampas tebu.
c. Mengaduknya dengan magnetic stirrer selama 5 jam.
d. Campuran disaring dengan menggunakan kertas saring.
e. Menempatkan residu yang dihasilkan pada cawan porselin lalu mengeringkannya pada oven dengan temperatur 400oC selama 2 jam.
f. Setelah kering abu ampas tebu digerus dan diayak menggunakan ayakan 100 smesh.
J. Jadwal Kegiatan
K. Rancangan Biaya
No | Bahan dan Keperluan | Jumlah (unit) | harga/unit | biaya |
1 | Bahan habis pakai | | | |
Pewarna Congo Red | 1 | 80000 | 80000 | |
Larutan NaOH | 5 | 175000 | 875000 | |
Aquades | 2 | 8000 | 16000 | |
Kertas Saring | 1 | 235000 | 235000 | |
| | | | |
2 | Peralatan | | | |
Alat gelas | 1 | 450000 | 450000 | |
Stirrer | 1 | 40000 | 40000 | |
Ayakan 100 mesh | 1 | 75000 | 75000 | |
| | | | |
3 | Biaya sewa Lab | 1 | 875000 | 875000 |
4 | Biaya Uji XRD | 20 | 50000 | 1000000 |
5 | Biaya Uji FTIR | 20 | 75000 | 1500000 |
6 | Kesekretariatan | 1 | 300000 | 300000 |
7 | Tranportasi | 4 | 100000 | 400000 |
| | | | |
Jumlah | 5846000 |
0 komentar:
Posting Komentar